Rabu, 11 Maret 2009

MENINGGALKAN PARADIGMA KLASIK UNTUK SUATU “PENGALAMAN” PEMBELAJARAN YANG BERKESAN


Guru memiliki tanggung jawab moril yang cukup beresiko terhadap naik / tidak kejenjang berikutnya bahkan lulus / tidaknya peserta didik tersebut. Di era globalisasi ini dunia pendidikan semakin berkembang dan gurupun dituntut untuk dapat beradaptasi dengan perubahan tersebut. Revolusi dunia pendidikan terjadi disana-sisi, dari kurikulum yang berubah-ubah sampai pada klimaksnya melahirkan UU tentang guru dan dosen. Bahkan pada Peraturan Pemerintah RI No.74/2008 menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Semuanya bertujuan untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu dan berkualitas.
Semua asumsi di atas dimaksudkan bahwa sudah waktunya kita meninggalkan paradigma yang sudah mendaging bahwa guru mahatau dan pasti benar !! trus tugasnya mengajar serta menyampaikan informasi-informasi dan pengetahuan. Dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) pentransferan ilmu tidak terjadi sepihak. Ada Interaksinya. Disini ada pihak lain yang akan menampung semua informasi itu yaitu siswa. John Locke mengatakan bahwa pikiran seorang anak seperti kertas kosong yang putih bersih dan siap menunggu coretan-coretan gurunya. Dengan kata lain, otak seorang anak ibarat botol kosong yang siap diisi dengan segala ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan sang mahaguru.

Apalah jadinya jika proses pembelajaran itu hanya bertumpu pada satu sumber yaitu guru. Karena paradigm yang “maha” tadi mengakibatkan guru bersikap otoriter karena merasa sebagai yang memiliki semua informasi-informasi pengetahuan itu dan siswa dituntut untuk menghafal atau mengingat semua yang telah diberikan guru. Posisi siswa menjadi penerima pengetahuan yang pasif !!! Tidak ada sama sekali Tanya jawab apalagi tukar pendapat (sharing).
KBM dikatakan berhasil apabila siswa merasa senang dan mendapatkan PENGALAMAN dari pembelajaran itu. Karena pengalaman akan terus tertanam dan tumbuh dalam pikirannya sehingga apabila diminta mengulang kembali mereka akan mudah dan lancar menjawabnya. Sudah waktunya pembelajaran itu menciptakan interaksi yang inovatif dan menyenangkan antara siswa dengan siswa dan antara siswa dan guru. Antara siswa dengan siswa, dimana siswa memandang temannya bukan sebagai kompetitior dalam pembelajaran untuk ditaklukan, tapi siswa sadar bahwa dirinya sendirilah sebagai pesaingnya (kata Anita Lie), karena jika siswa sudah bisa menaklukan egonya sendiri maka orang lain bukan lagi ancaman baginya. Dan tak kalah penting adalah adanya sharing pengetahuan antara siswa dengan guru. Adanya pengakuan yang positif dan natural dari keduabelah pihak, tanpa dipengaruhi pihak manapun. Siswa tidak menganggap guru sebagai sosok yang menakutkan sehingga kebersamaan pada saat pentransferan informasi-informasi dan pengetahuan selama KBM berlangsung tanpa ada ketegangan justru berjalan lancar dan aktif. Dan sebagai pendidik jangan pernah berpikir merasa tersaingi bahkan terancam dengan kelebiahan yang dimiliki siswanya. Kelebihan yang dimilki siswa jadikan input atas kekurangan / kelemahan / keterbatasan yang ada pada diri kita. Hmm………… indahnya kebersamaan dan PENGALAMAN yang tak terlupakan.

1 komentar:

  1. Setuju mak cik, belajar dari pengalaman emang gak ada matinya, jangan sampe nih, guru kena sindrom mengajar gara-gara muridnya pada pintar-pintar

    BalasHapus